Mungkin sedikit membahas Sejarah Bahasa Indonesia :
Pada
16 Juni 1927, sidang Volksraad gaduh. Bahasa Indonesia digunakan dalam sidang
Dewan Rakyat. Di zaman Hindia-Belanda berkuasa, menggunakan bahasa Indonesia
dalam acara resmi menjadi sebuah paradoks; antara kebanggaan dan nasionalisme
berhadapan dengan sikap inlandear sebagai bumi putra.
Ialah
Jahja Datoek Kajo, anggota Volksraad kelahiran Kota Gadang 1 Agustus 1874. Ia
menentang tradisi tidak menggunggulkan bahasa Indonesia. Azizah Etek, dalam
buku Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo (2008) mencatat ketidaklaziman anggota
Volksraad dari kalangan bumi putra menyampaikan pidato dengan bahasa Melayu
(Indonesia).
Sebelum
Jahja membuat geger sidang Volksraad itu, Haji Agus Salim pernah berbahasa
Indonesia, tetapi diperingatkan oleh tuan Voorzitter. Namun Agus Salim menyangkal
karena, "menurut Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam
bahasa Indonesia." Kita bisa beranggapan bahwa kengototan Jahja
menggunakan bahasa Indonesia terilhami oleh Agus Salim. Tapi, Jahja masih
selangkah lebih maju. Dalam sebuah sesi, 22 Juni 1927, Jahja berpidato sambil
menyentil anggota lain. Katanya, "Saya berharap kepada tuan-tuan yang
hadir dalam Diwan Rakyat ini mau menyela pembicaraan saya. Dengan hormat saya
minta supaya dilakukan bahasa Melayu, (Azizah Etek: 2008)"
Permintaan
Jahja sangat politis dan berniat menaikkan harga diri bahasa dan orang
Indonesia. Ia tak rela, di tanah sendiri, harus berbahasa dengan bahasa orang
lain. Bukan karena ia tak mampu. Azizah Etek (2008: 30) mengingatkan sebagai
seorang tamatan sekolah desa, sekolah kelas dua, Jahja tentu mampu berbahasa
Belanda. Pilihan menggunakan bahasa Indonesia merupakan bentuk nasionalisme,
dan membentuk identitas yang tidak diakui. Persoalan berbahasa di sidang
Volksraad bukan sebatas masalah bagaimana pesan dapat dipahami oleh anggota
lain. Jahja memberi contoh bagus merangkai martabat, membangun identitas, dan
mengusulkan perubahan.
Jahja
geram tatkala seorang wakil pemerintahan Belanda menjawab dengan bahasa Belanda
disertai embel-embel bahwa kalau kurang jelas hendak bisa bertanya kepada
Mochtar, salah seorang anggota. Dua alasan kegeramnnya, pertama; Jahja dianggap
kurang paham bahasa Belanda, dan kedua; orang Belanda enggan berbahasa
Indonesia. Menyikapi itu, Jahja berkelakar, "Tuan tentu memaklumi, bahwa sekalian
bangsa dalam dunia ini lebih suka berbahasa di dalam bahasanya sendiri.
Sebabnya perasaan Indonesier tinggal di orang Indonesier, perasaan Belanda di
Belanda."
Pemicu
Buku
Pesona Bahasa (2005) mencatat, mengutip penelitian The Summer Institute of
Linguistic, terdapat 726 bahasa daerah di seluruh kawasan Indonesia.
Bahasa-bahasa itu memiliki penuturnya masing-masing. Ada yang dituturkan
jutaan, beberapa ribu, bahkan hanya dinikmati beberapa puluh saja. Nah, bahasa
Indonesia mempertemukan bangsa-bangsa yang sudah memiliki bahasa tuturnya
sendiri. Bahasa Indonesia berdiri di tengah sebagai penyambung banyak lidah.
Nasib
bahasa Indonesia diperteguh kehadiran Sumpah Pemuda yang ditulis dan
dibaca-jelaskan oleh Muhammad Yamin pada kongres 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda
menjadi titik lain penegasan identitas bangsa Indonesia dengan bahasa resmi;
bahasa Indonesia. Teks itu berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Teks
ini gagah di tengah banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Teks itu menyihir
dan mempersatukan pluraritas bahasa di Indonesia. Kita bersatu dan tergerak
dalam rima yang satu. Ia menjadi pemicu untuk sadar terhadap hakikat bangsa
yang dihuni oleh banyak suku. Teks ini memikat sekaligus memberikan harapan
agar bangsa Indonesia bersedia mempersatukan kehendak. Ya, teks itu ampuh dan
jitu membawa alam bawah sadar manusia Indonesia dalam tegangan nasionalisme.
Teks ini menyelamatkan kemungkinan bahasa Belanda dijadikan bahasa sehari-hari.
Langkah
strategis sudah dirumuskan Kepala Badan Pusat Bahasa Kemdikbud Agus Dhar ma
untuk memperluas jangkauan bahasa Indonesia. Rencananya, di setiap negara, akan
ditambah pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia. Sampai kini, ada 150 pusat
bahasa dan kebudayaan Indonesia di 48 negara.
Yang
harus kita waspadai sekarang ini adalah ketidakpercaya-dirian bangsa Indonesia
memanggul identitasnya sebagai bangsa. Meskipun sudah merdeka puluhan tahun,
kita masih terus didikte oleh bangsa lain. Kenyataan itu bisa dilihat dari
betapa menjamurnya kursus-kursus bahasa asing di mana-mana. Kita memang sudah
selayaknya menghadapi zaman globalisasi ini dengan mampu menguasai berbagai
bahasa, terutama bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional, antara
lain bahasa Inggris dan Arab. Tapi, kita pun mesti mempertanyakan pada diri
kita, apakah sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya
berbahasa. Hal terkecil misalnya bagaimana kita menulis pesan singkat, atau
menulis status di jejaring sosial.
Di atas sudah dijelaskan sejarah singkat tentang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia, bahasa pemersatu. Tapi di Timor Leste bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa kerja. Meski di pahami hampir 90% warganya, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa
yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.
Fenomena Bahasa Indonesia
Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan
Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Setelah 12 tahun
belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia
mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian
mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Paparan
singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa
dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang
mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua
bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen
Bahasa Indonesia. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak
langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun
jangan pula dilewatkan. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa
Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan
mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Bila beberapa upaya ini
dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para
mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan
perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia
secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai
bahasa nasional mereka sendiri.